BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara yang wilayahnya terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil yang masing-masing pulau dihubungkan lautan, tentunya menuntut masyarakatnya untuk dapat mengatasi tantangan alam lautnya. Bagi masyarakat yang ada dipesisir atau kepulauan yang berjiwa maritim diperlukan kepandaian dalam mengarungi lautan yang luas dengan melakukan pelayaran keberbagai daerah lainnya, baik untuk berdagang maupun untuk keperluan lainnya.
Keadaan geografis suatu daerah sangat berpengaruh terhadap kebudayaan suatu masyarakat di daerah tersebut. Masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman, akan mengembangkan budaya agraris. Demikian pula masyarakat yang bermukim di daerah pesisir pantai dan daerah kepulauan, tentunya akan berbudaya kelautan (maritim).
Salah satu kelompok masyarakat Indonesia yang secara geografis berada pada jalur pelayaran adalah masyarakat kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko) yang terletak dikawasan timur Indonesia. Kepulauan ini pada masa lampau sampai sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi.
Salah satu daerah di Kepualuan Wakatobi sejak zaman lampau mengenal dan menggeluti dunia pelayaran dunia adalah masyarakat Binongko. Para pelayar Binongko telah melakukan pelayaran keberbagai daerah di Indonesia bahkan sudah sampai diluar negeri. Sebagai daerah yang dilalui jalur pelayaran dan perdagangan Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, maka para pelayar Binongko telah diwariskan secara turun-temurun oleh para pelayar pendahulu mereka.
Bagi masyarakat Pulau Binongko, pelayaran ke seantero nusantara, Singapura, Malaysia, Deli, Philipina selatan di anggap sebagai rutinitas biasa. Bahkan mereka ada yang sampai di perairan Australia Utara, Pakistan dan kepulauan Palau di sebelah timur Filipina dengan hanya menggunakan perahu layar tradisional yang disebut Lambo dalam bahasa kaumbedaBinongko disebut Bhangka yang hanya menggunakan layar sebagai alat penggeraknya. Jaringan dan peran serta mereka dalam dunia pelayaran niaga, sejauh yang dapat dilacak, mulai tampak sejak abad terakhir masa kurun niaga yang mula-mula dipelopori oleh orang-orang Binongko kemudian disusul oleh pulau-pulau lainnya di Wakatobi (Ali Hadara, 2006: 5-6).
Kepulauan Wakatobi atau Kepulauan Tukang Besi memiliki kondisi tanah pada umumnya kurang subur terutama Pulau Binongko. Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi kehidupan ekonomi, terutama pada bidang pertanian. Letak geografis Binongko merupakan daerah kepualauan yang kecil dan kondisi tanah yang gersang mempengaruhi pada mata pencaharian masyarakat. Kedaaan tanah yang kritis dengan didukung oleh faktor letak geografis yang strategis, desakan ekonomi maka terjadilah penambahan pola dan sistem mata pencaharian baru yakni pelayaran dan menuntut mereka untuk berlayar sehingga kepergian mereka menimbulkan masalah bagi perempuan selaku ibu rumah tangga.
Dalam masyarakat manapun, baik dari masayarakat pedesaan sederhana, masyarakat kota, kaum perempuan dalam sistem sosialnya mempunyai peranan tertentu. Kedudukan dan peranannya terwujud dalam kelompok-kelompok sosial baik yang kecil sampai kelompok yang besar dan meluas. Pada dasaranya kesatuan sosial itu ditata oleh norma-norma atau aturan-aturan berdasarkan budaya (Boestami, 1988: 3).
Kaum perempuan memilki hak dan kewajiban serta kesempatan yang sejajar dengan kaum pria, terutama peranan perempuan dalam ekonomi rumah tangga sehingga dapat memperluas sumber-sumber penadapatan dalam keluarga. Sebagai seorang ibu rumah tangga keikutsertaannya dalam membantu suami untuk mencari nafkah akan mempengaruhi keadaan ekonomi rumah tangga.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kaum perempuan harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada karena kalau tidak demikian akan menimbulkan masalah-masalah baru terutama yang ditimbulkan oleh tugas ganda perempuan itu baik ibu rumah tangga maupun sebagai kesejahteraan ekonomi keluarga dalam hal ini menudukung aktivitas suaminya dalam mencari nafkah.
Berdasarkan uraian di atas hal ini tentu sangat menarik untuk dikaji khususnya tentang “Peran Kaum Perempuan di Pulau Binongko dalam Mendukung Pelayaran Niaga Abad XX”.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
a. Bagaimana peran kaum perempuan di Pulau Binongko dalam pembuatan perahu layar abad XX?
b. Bagaimana peran kaum perempuan di Pulau Binongko dalam persiapan pelayaran niaga abad XX?
c. Bagaimana peran kaum perempuan di Pulau Binongko saat pelayaran niaga abad XX?
d. Bagaimana peran kaum perempuan di Pulau Binongko saat tiba dari pelayaran niaga abad XX?
2. Batasan Masalah
Melihat luasnya permasalahan di atas, maka memfokuskan pemahaman dan menghindari meluasnya permasalahan maka perlu membatasinya:
a. Batasan Tematis: Batasan tematis dari penelitian ini ialah peran perempuan dalam mendukung pelayaran niaga.
b. Batasan Spasial: Batasan spasial penelitian ini ialah di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi.
c. Batasan Temporal: Kurun waktu kajian penlitian ini ialah abad XX karena pada abad ini banyak orang Binongko yang melakukan pelayaran.
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan peran kaum perempuan di Pulau Binongko dalam pembuatan perahu layar abad XX.
2. Mendeskripsikan peran kaum perempuan di Pulau Binongko dalam persiapan pelayaran niaga abad XX.
3. Mendeskripsikan peran kaum perempuan di Pulau Binongko saat pelayaran niaga abad XX.
4. Mendeskripsikan peran kaum perempuan di Pulau Binongko saat tiba dari pelayaran niaga abad XX.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Bermanfaat sebagai bahan atau referensi untuk mempelajari kembali sejarah lokal pada masyarakat Wakatobi, khususnya masyarakat Kecamatan Binongko.
2. Manfaat Teoritis
a. Bagi pemerintah sebagai bahan refernesi dalam upaya pemberian bimbingan ketermapilan bagi kaum perempuan pada masyarakat Binongko.
b. Untuk kalangan akademisi dapat dijadikan sebagai salah satu referensi penelitian dengan topik yang sama
c. Bagi peneliti kiranya dapat menambah wawasan pengetahuan tentang sejarah kemaritiman.
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Pelayaran Niaga
Pelayaran merupakan dinamika kehidupan yang telah mewarnai kegiatan umat manusia sejak masa lampau hingga sekarang. Membahas tentang pelayaran, para ahli telah mengemukakan tentang pengertian dan konsep pelayaran, diantaranya adalah Anton (1989: 505) mengemukakan bahwa pelayaran adalah perjalanan melalui laut atau sesuatu yang menyangkut prihal berlayar, sedangkan pelayaran samudera adalah pelayaran antara suatu Negara dengan Negara lainnya melalui lautan luas yang dilakukan dengan armada kapal.
Sedangkan pengertian pelayaran yang tertuang dalam buku Ensiklopedia Indonesia dalam Ali Hadara (1987: 7) mengartikan pelayaran adalah lalulintas dengan kapal di laut dan di sungai, terbagi atas pelayaran laut, pelayaran pantai artinya lalulintas di laut antar kota-kota di pesisir , pelayaran laut artinya pelyaran lalulintas internasional di laut tetapi disini termasuk pelayaran perahu-perahu antar pulau.
Dari dua pendapat di atas dapat diketahui bahwa pelayaran adalah proses berpergian baik itu di sungai, di pesisir pantai maupun yang mengarungi lautan luas dengan menggunakan alat angkutan baik itu berupa perahu maupun kapal besar.
Radisk Purba (1998: 12) mengartikan pelayaran merupakan pengangkutan muatan melalui air dengan menggunakan alat pengangkut air (kapal, tongkang, dan lain-lain kecuali kapal perang yang digunakan untuk tujuan perang). Lebih jauh lagi menjelaskan bahwa ada 3 unsur pokok yang menggiatkan mehidupkn pelayaran yaitu:
1. Kapal, sebagai alat pengangkut melalui laut.
2. Saudagar, yang menyediakan muatan kapal.
3. Daerah Industri, untuk menjual muatan kapal.
4. Daerah pengahasil bahan baku industri, untuk menyediakan barang untuk muatan kapal.
Menurut Poewadarminta (1982: 676) mengemukakan pengertian niaga adalah dagang; kapal-yaitu kapal dagang. Berniaga artinya berdagang; jadi perniagaan yaitu perdagangan.
Selanjutnya menurut Kansil (1984: 1) mengemukakan bahwa perdagangan atau perniagaan pada umunya adalah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan. Dengan demikian dilihat dari tujuannya pelayaran dapat dibagi atas pelayaran untuk tujuan perdagangan.
Sedangkan Mulya (1955: 160) merumuskan pengertian pelayaran dagang adalah pelayaran untuk mengangkut manusia dan barang terdiri atas pelayaran teratur antara dua pelabuhan atau lebih dan pelayaran tak teratur, yaitu kapal-kapal yang berlayar kepelabuhan mana saja asal ada muatan baginya.
Dengan demikian pelayaran dan perdagangan tradisional dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan pelayaran yang menggunakan perahu layar untuk mengangkut barang dan penumpang atau manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud memperoleh keuntungan atau laba dari hasil jual beli barang dan jasa yang telah dilakukannya. Kegiatan yang dilakuka itu tentu menggunakan alat bantu angkut berupa; perahu maupun kapal dengan melewati lautan dari suatu tempat ke tempat lainnya.
B. Konsep Peran Perempuan
Pembagian kerja laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada aktivitas fisik yang dilakukan, di mana perempuan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki bertanggung jawab atas pekerjaan mencari nafkah.
Berbicara tentang perempuan apalagi peranannya dalam suatu masyarakat pasti mempunyai identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut disektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat disektor domestik (rumah), pesolek, pasif dan lain-lain (Muhanif, 2002: 13).
Bidang studi perempuan telah menyebabkan lahirnya konsep gender, bebagai hal menyebabkan masyarakat peneliti bidang ini merasa butuh akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan.
Fatimah (2001: 40) mengemukakan bahwa “ gender adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas anatara laki-laki dan pereempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai dengan norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat”. Konsep gender ini membedakan waktu, tempat, peralatan, tugas-tugas, gerak-gerik, bentuk tuturan dan bermacam persepsi antara yang diasosiasikan pada lelaki dan yang diasosiasikan pada perempuan. Perbedaan gender ini diantara dua jenis kelamin menjadi semakin melebar bila dibandingkan dengan hanya sekedar perbedaan fisik apalagi msyarakat berkecenderungan selalu mempertahankan perbedaan yang telah digariskan secara terus menerus.
Pemisahan dan sekaligus keterkaitan diantara keduanya disebut dengan gender. Dalam masyarakat industrialisasi, perempuan dan laki-laki dipandang sebagai sosok yang kehilangan gender, mereka dipandang sebagai makhluk yang hakikatnya sama, kebutuhannya sama. Yang membedakan diantara keduanya hanyalah jenis kelamin saja. Perempuan dilihat dari sisi gender adalah seorang manusia yang memiliki hak dan kebebasan, ia dapat mempergunakan nalarnya dalam berbagai permasalahn yang dihadapinya, sama persis dengan apa yang dilakukan oleh kaum laki-laki (Fatimah, 2001: 51).
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai upaya pemilahan yang didasarkan pada jenis kelamin baik dalam pekerjaan tertentu maupun dalam tipe-tipe perilaku. Pemilihan tersebut seringkali ditambahkan dengan persepsi stereotype dari masing-masing jenis baik mngenai diri sendiri maupun lawan jenisnya. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan menjadi kepercayaan umum dan dilakukan pula secara ilmiah, merupakan akibat dari perbedaan pengharapan budaya, bukan semata-mata berdasarkan perbedaan susunan fisik. Kondisi ini membuat kita sulit membedakan untuk menentukan mana yang diakibatkan oleh perbedaan fisik dan mana yang diakibatkan oleh perbedaan perilaku dan pengharapan kultural. Untuk persoalan yang terakhir ini banyak penulis bertanggapan bahwa gender merupakan istiilah yang dapat menjelaskan secara tajam yakni sebagai maskulinitas dan feminitas dan memanfaatkannya sebagai alternatif (Boestami, 1988: 131).
Sejarah umat manusia, kedudukan perempuan selalu berada dibawah dominasi kaum laki-laki, ini dapat kita amati dalam sejarah masyarakat timur atau barat. Pada masa jahiliyah Arab misalnya orang tua tidak segan-segan menguburkan bayinya hidup-hidup apabila mengetahui anak yang dilahirkan istrinya berjenis kelamin perempuan. Demikian pula dalam kultur budaya patriaki di Jawa, kaum perempuan masih dianggap sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki.
Pada lintasan sejarah, kelompok-kelompok masyarakat membagi peran, tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin yang dimana masyarakat berburu dan meramu, di mana peran social-ekonomi laki-laki ditempatkan sebagai pemburu, sedang perempuan sebagai peramu.
Kaum perempuan sejak zaman dahulu selalu saja dipandang sebagai objek pelengkp bagi kaum pria. Perempuan memiliki hak dan memperbaiki nalar kreatifnya untuk merasionalisasikan semua perkara. Disamping itu, mereka juga berhak untuk memberikan petunjuk dan berkonsultasi dengan orang lain. Jadi tugas utama prempuan adalah berinteraksi dengan jenis makhluk Tuhan yang paling mulia dipermukaan bumi ini, serta memiliki kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya (Syaikh, 2005: 120).
Di dalam sistem pergaulan masyarakat kaum perempuan diharuskan memiliki sikap sopan, lemah lembut bertutur kata, menampakan sifat-sifat kewanitaannya dalam arti fisik maupun dalam arti rohaninya yang penuh dengan tata krama. Hal tersebut disampaikan dalam pergaulannya baik kepada kaum pria, sesama wanitanya maupun dalam masyarakat secara umum (Hamka, 1984: 41).
Perempuan mempunyai hak dan kewajiban untuk melahirkan, merawat, mengasuh dan mendidik anaknya. Perbedaannya terletak pada sistem nilai masing-masing suku bangsa.
Masyarakat dalam penilannnya terhadap kaum perempuan menitik beratkan pada seberapa jauh ia menjalankan statusnya dalam keluarga menurut pola-pola tertentu. Karena sebagai perempuan hak dan kewajibannya yang utama adalah didalam keluarga sangat menentukan prestasinya didalam masyarakat.
Keterlibatan perempuan yang sudah kentara tetapi secara jelas belum diakui di Indonesia membawa dampak terhadap peranan perempuan dalam kehidupan keluarga. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat adalah semakin banyaknya perempuan membantu suami mencari tambahan penghasilan, selain karena didorong oleh kebutuhan ekonomi keluarga, juga perempuan semakin dapat mengekspresikan dirinya di tengah keluarga dan masyarakat. Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi kecenderungan perempuan untuk berpartisipasi di luar rumah, agar dapat membantu meningkatkan perekonomian keluarga.
Seiring dengan kemajuan jaman telah banyak mengubah pandangan tentang perempuan, mulai dari pandangan yang menyebutkan bahwa perempuan hanya berhak mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah mahluk yang harus berada di luar rumah, kemudian dengan adanya perkembangan jaman dan emansipasi menyebabkan perempuan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki.
Kaum perempuan memiliki hak yang sama dalam berusaha dan bekerja, hanya saja budaya masyarakat yang mengggap perempuan harus berada di rumah mengurus rumah tangga. Tetapi dengan adanya kemajuan jaman maka perempuan dan laki-laki dapat bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan.
Partisipasi perempuan saat ini, bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Pada peran transisi wanita sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia (Fakih, 1996: 114).
Dengan demikian, istilah gender mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi penting dalam menentukan posisi keduanya.
C. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Hasmida Tuslim (2002: 65). Hasil penelitiannya memberikan penjelasan bahwa sumbangan/konstribusi ibu-ibu rumah tangga pembuat kelapa tradisional di Desa Ulunambo mempunyai peranan yang besar dalam meningkatkan pendapatan keluarga.
Hasil penelitian lain yang sejenis dilakukan oleh Asni (1996: 68). Hasil penelitiannya memberikan penjelasan bahwa pada mulanya kaum perempuan selaku ibu rumah tangga merasa puas sebagai ibu rumah tangga saja dengan suami yang bekerja mencari nafkah, tetapi karena desakan ekonomi sehingga membuat perempuan ikut bekerja guna membantu perekonomian keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penelitian yang serupa juga telah dilakukan oleh Dahniar (2013: 77). Dalam hasil penelitiannya memberikan penjelasan bahwa kaum perempuan sangat berperan penting baik dalam bidang ekonomi, bidang pendidikan, maupun dalam bidang sosial.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada mulanya perempuan selaku ibu rumah tangga hanya berperan dalam keluarga yaitu sebagai ibu rumah tangga. Tetapi, karena desakan ekonomi yang semakin bertambah sehingga mendorong perempuan untuk ikut terlibat membantu suami mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2015 di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi karena sejak masa lampau Binongko khususnya Rukuwa telah mengenal dan menggeluti dunia pelayaran sehingga menyebabkan perempuan untuk ikut terlibat dalam mendukung pelayaran dan merupakan tempat kelahiran penulis dimana memudahkan penulis dalam melakukan penelitian.
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini merupakan jenis penelitian sejarah yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan berbagai peran kaum perempuan di Pulau Binongko dalam mendukung pelayaran niaga abad XX. Dalam Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan strukturis yaitu mempelajari peristiwa dan struktur sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Artinya peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan dalam masyarakat.
C. Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga kategori sumber data penelitian yaitu sebagai berikut :
a. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur dalam bentuk buku dan skripsi, laporan hasil penelitian serta sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan kajian penelitian ini.
b. Sumber lisan, yaitu tindakan pengambilan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan, diantaranya adalah tokoh masyarakat dan pemerintah setempat yang mengetahui tentang permasalahan yang diteliti.
c. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh dari hasil pengamatan mengenai beberapa bentuk kegiatan berupa, fasilitas, sarana yang berkaitan dengan aktifitas kaum perempuan di Binongko.
D. Prosedur Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang di kemukakan oleh Kuntowijoyo (1995 : 89) yaitu sebagai berikut: 1) Pemilihan topik, 2) Pengumpulan sumber (heuristik), 3) Verifikasi (kritik sejarah terhadap keabsahan sumber), 4) Interpretasi (analisis dan sintesis) dan, 5) Penulisan (historiografi).
Berdasarkan pendapat yang di kemukakan di atas maka dalam penelitian ini melalui prosedur atau tahap-tahap sebagai berikut :
1. PemilihanTopik
Dalam memilih topik penulis memilih topik yang ada kaitannya dengan sejarah, dalam hal ini yang berkaitan dengan peranan perempuan. Adapun topik yang dipilih berdasarkan pertimbangan dua hal yaitu :
a. Kedekatan Intelektual
Kedekatan intelektual yakni akan mampu dikerjakan baik secara teoritis maupun secara metodologi. Serta mudah untuk mendapatkan keterangan informasi lisan. Karena dalam penelitian ini memilih topik peranan perempuan maka penulis di haruskan untuk mengusai konsep-konsep peranan perempuan (gender) selain Metodologi sejarah serta mempertanggung jawabkan kebenarannya.
b. Kedekatan Emosional
Penulis merasa memiliki kedekatan emosional karena penulis sendiri berasal dari daerah tempat dilakukannya penelitian, selain itu juga penelitian ini memiliki kedekatan emosional dengan melihat topik bahwa judul ini belum ada yang mengkaji secara ilmiah, sehingga penulis sebagi puteri daerah Pulau Binongko merasa bertanggung jawab untuk melakukan penelusuran jejak-jejak peninggalan sejarah sehingga tidak menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat khususnya generasi muda yang belum mengetahui tentang berbagai bentuk peranan perempuan pada masyarakat Binongko dalam mendukung pelayaran niaga.
2. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Pengumpulan sumber dilakukan dengan berusaha untuk mendapatkan dan menghimpun data yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan sumber yang digunakan peneliti yaitu mengacu pada prosedur penelitian yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo, maka pengumpulan data dalam kegiatan penelitian sejarah ini yaitu dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah baik tertulis, tidak tertulis (lisan), artefak, maupun internet (Ali Hadara, 2014: 10-11). Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah berikut yaitu:
a. Studi kepustakaan, yakni metode pengumpulan data dengan cara mengkaji data atau sumber-sumber yang relevan dengan judul penelitian ini, ini bisa di peroleh dari buku-buku, artikel, skripsi, serta tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti.
b. Studi lisan yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara wawancara kepada informan yang banyak memiliki informasi. Melalui studi lisan, maka peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan yang penulis anggap mempunyai pemahaman dan pengetahuan tentang permasalahan yang akan diteliti.
c. Studi observasi yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui hasil pengamatan berbagai kegiatan yang dilakukan kaum perempuan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.
3. Verifikasi (Kritik Sejarah Terhadap Keabsahan Sumber)
Pada tahap ini, penulis melakukan penelitian terhadap sumber data yang telah terkumpul, khususnya data yang masih diragukan otentitas dan kredibilitasnya. Kritik sumber bertujuan untuk menyeleksi atau menyaring (menguji) data-data sejarah menjadi fakta-fakta sejarah (Ali Hadara, 2014: 12). Untuk mengetahui otentitas (keaslian) dan kredibilitas (kebenaran) data yang telah terkumpul tersebut maka peneliti melakukan analisis kritik sumber sejarah, baik kritik eksternal maupun kritik internal.
a. Kritik eksternal (ktitik luar)
Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah (Ali Hadara, 2014: 12). selain itu aspek eksternal dari suatu sumber adalah berkaitan dengan apakah sumber memang merupakan sumber artinya sumber sejati yang kita butuhkan. Dalam kaitan ini, Notosusanto dalam Ali Hadara (2014: 12), mengajukan tiga pertanyaan pokok di dalam melakukan kritik eksternal terhadap suatu sumber yaitu: (1) Adakah sumber itu memang sumber kita kehendaki, (2) Adakah sumber itu asli atau turunan, (3) Adakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah.
Namun tidak semua sumber dapat digunakan oleh seorang sejarawan didalam kegiatan penulisan sejarah, melainkan hanya sumber-sumber yang dikehendaki (relevan) sesuai topik (tema) yang sedang diteliti, masih asli (bukan turunan; salinan atau fotocopy/copy internet), dan masih utuh (tidak terpisah-pisah) yang dapat digunakan oleh penulisan sejarah, diluar daripada itu diabaikan atau tidak digunakan sama sekali (Ali Hadara 2014: 13).
b. Kritik internal (kritik dalam)
Kritik internal (kritik dalam) menekankan aspek “dalam”, dalam hal ini isi sumber atau materi kesaksian (testimony). Dalam Kritik ini semua sumber baik lisan maupun tertulis yang sudah lulus dari kritik ekstern selanjutnya di kritik secara intern. Menurut Gottschalk dalam Ali Hadara (2014: 14) ada empat pertanyaan pokok untuk menilai kebenaran (kredibilitas) dari keaslian sumber tersebut yaitu: (1) Apakah saksi di dalam memberikan kesaksian mampu menyatakan kebenaran, (2) Apakah saksi mau menyatakan kebenaran, (3) Apakah saksi melaporkan secara akurat mengenai detil yang sedang di uji, (4) Apakah ada dukungan secara merdeka terhadap detil yang sedang di periksa.
4. Interpretasi Data (Analisis dan Sintesis)
Setelah melakukan penilaian data melalui kritik ekstern dan kritik intern, maka data tersebut diinterpretasi atau ditafsirkan dengan mengacu pada konsep yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Pada bagian interpretasi ini otentitas dan kredibilitas sumber data yang sudah ditetapkan melalui kritik selanjutnya dihubungkan antara data yang satu dengan yang lainnya sehingga didapatkan fakta/sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya secara ilmiah yang dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Analisis, yaitu proses menguraikan sumber-sumber data, karena kadang-kadang sebuah sumber mengandung beberapa kemungkinan, mana sumber yang asli dan bukan.
b. Sintesis, yaitu proses menyatukan berapa data yang terkumpul yang dianggap saling berhubungan dan relevan dengan penelitian yang dikaji.
5. Penulisan (Historiografi)
Historiografi atau penyusunan data merupakan bagian akhir dari seluruh rangkaian penelitian sejarah. Pada bagian ini penulis menyusun kisah secara kronologis dan sistematis berdasarkan data dan fakta yang berhasil dikumpulkan dan telah lulus verifikasi serta sudah diinterpretasikan.
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN RUKUWA
KECAMATAN BINONGKO KABUPATEN WAKATOBI
A. Keadaan Geografis
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi dengan pertimbangan bahwa terdapatnya sumber penelitian di daerah ini. Kelurahan Rukuwa merupakan bagian wilayah administrasi dari Kecamatan Binongko yang berada di sekitar pesisir laut. Kecamatan Binongko khususnya Kelurahan Rukuwa terletak di kepulauan jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan bila ditinjau dari peta Provinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian Selatan deretan kepulauan Wakatobi dengan batas Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Palahidu Kecamatan Binongko, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kampo-Kampo Kecamatan Binongko, sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Popalia Kecamatan Togo Binongko.
Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko memiliki luas wilayah lebih kurang 37,74 km2 dan topografi daratan umumnya terdiri dari pantai, dataran rendah dan perbukitan. Keadaan musim di Kelurahan Rukuwa pada umumnya sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia dimana mempunyai 2 musim yakni musim hujan (musim barat: September-April) dimana pada bulan-bulan tersebut angin bertiup dari benua Asia dan dari samudera Pasifik yang banyak mengandung air dan musim kemarau (musim timur: April-Agustus) dimana pada bulan-bulan ini angin bertiup dari arah timur yaitu benua Australia yang sifatnya kering dan sedikit mengandung air.
Tinggi rendahnya suhu udara pada suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh posisi dan ketinggian tempat tersebut dari permukaan air laut. Wilayah daratan Binongko mempunyai ketinggian umumnya di bawah 1.000 meter dari permukaan laut dan berada di sekitar daerah khatulistiwa, sehingga daerah ini beriklim tropis.
Keadaan tanah Pulau Binongko tidak terlalu subur untuk dijadikan tempat bercocok tanam kerena merupakan tanah karang dan batuan beku basah. Bagi para petani yang ada di Pulau Binongko khususnya di Kelurahan Rukuwa hanya menanam jagung dan ubi-ubian. Hal inilah yang merupakan faktor tantangan yang harus dapat diatasi untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat. Oleh karena itu, salah satu jalan yang harus ditempuh oleh masyarakat Binongko khususnya masyarakat Rukuwa adalah melakukan pelayaran ke berbagai daerah di nusantara, bahkan sampai ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura dan bagi para Ibu rumah tangga melakukan kerja sampingan dalam mendukung pelayaran niaga sang suami guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
B. Keadaan Demografi
1. Jumlah Penduduk
Penduduk adalah mereka yang berdomisili disuatu tempat atau daerah tertentu dan tunduk pada pemerintah di daerah yang bersangkutan. Jumlah penduduk Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi berjumlah 2.168 Jiwa yang terdiri dari 1.044 jiwa penduduk laki-laki dan 1.124 jiwa penduduk perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Penyebaran Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi Tahun 2014
Kelompok Umur
|
Jenis Kelamin
|
Total Jiwa
|
Persentase (%)
| |
Laki-Laki
|
Perempuan
| |||
0 – 4
5 – 9
10 – 14
15 – 19
20 – 24
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 keatas
|
100
87
110
85
75
90
40
82
80
70
65
78
82
|
120
89
120
70
85
95
45
86
85
75
80
89
85
|
220
176
230
155
160
185
85
168
165
145
145
167
167
|
10,15
8,12
10,61
7,15
7,38
8,53
3,92
7,74
7,61
6,69
6,69
7,70
7,70
|
Jumlah
|
1.044
|
1.124
|
2.168
|
100
|
Sumber : Kantor Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko, 2014
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia muda lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia tua. Keadaan ini mengidentifikasikan bahwa tingkat kelahiran di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko dari tahun ke tahun meningkat. Sesuai dengan data tersebut kelompok umur yang paling dominan adalah 10 sampai 14 tahun yang berjumlah 230 jiwa atau sebesar 10,61%. Kemudian menyusul pada kelompok umur 0-4 tahun yang berjumlah 220 jiwa atau sebesar 10,51%. Sedangkan kelompok umur yang paling sedikit jumlahya adalah pada kelompok umur 30-34 tahun yang hanya berjumlah 85 jiwa atau 3,92% dan menyusul pada kelompok umur 45-49 tahun yang berjumlah 45 jiwa atau sebesar 7,15% dengan demikian maka pada tahun-tahun mendatang jumlah penduduk di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi terus mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan zaman. Untuk itu pembangunan harus terus digalakan agar pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk.
Berdasarkan jumlah penduduk di atas, maka nampak bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk laki-laki hal ini disebabkan oleh banyaknya kecelakaan di darat dan di laut serta para pelayar atau perantau yang enggan kambali dan bahkan sudah menetap di negeri rantauannya.
2. Pendidikan
Sejalan dengan era globalisasi yang sangat pesat sekarang ini maka sarana dalam pembangunan di bidang pendidikan dititik beratkan pada peningkatan mutu dan perluasan kesempatan belajar disemua jenjang pendidikan yaitu mulai dari taman kanak-kanak sampai pada perguruan tinggi. Upaya tersebut dimkasudkan untuk menghasilkan manusia seutuhnya. Pelaksaan pendidikan di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko selama ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indikator yang dapat mengukur tingkat perkembangan pembangunan pendidikan di Kelurahan Rukuwa kecamatan Binongko dapat ditentukan oleh banyaknya sekolah, guru dan murid. Di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko tingkat pendidikan masyarakat sudah menunjukkan tingkat yang baik namun demikian masih terdapat sebagian kecil masyarakat tidak dapat memanfaatkan pendidikan ditingkat SD. Namun saat ini umumnya masyarakat sudah ada yang dapat menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai keadaan tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Keadaan Tingkat Pendidikan Penduduk di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi, tahun 2014
No.
|
Tingkat Pendidikan
|
Jumlah (Jiwa)
|
Persentase (%)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Sarjana (S1)
Sarjana Muda (D3)
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tidak Tamat SD
TIdak Sekolah
Buta Huruf
|
75
130
280
317
540
377
307
142
|
3,46
5,10
12,92
14,62
24,91
17,39
14,16
6,55
|
Jumlah
|
2.168
|
100
|
Sumber : Kantor Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko, 2014
Berdasarkan pada tabel tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Rukuwa kecamatan Binongko yang paling banyak adalah tamat SD yaitu sebanyak 540 orang atau sebesar 24,91% dari seluruh jumlah pendudukyang paling sedikit adalah tamat Sarjana (S1) sebanyak 75 atau 3,46%.
C. Mata Pencaharian
Mata pencaharian suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan tempat dimana masyarakat itu berdomisili. Demikian juga dengan masyarakat Kelurahan Rukuwa, tentunya mata pecahariannya sangat dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungannya.
Mata pencaharian merupakan sumber utama harapan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, dimana mata pencaharian ini menjadi tumpuan harapan dari setiap orang. Binongko yang merupakan suatu pulau kecil yang terletak di ujung paling timur Wakatobi, kondisi alamnya sangat menantang, karena berada di lautan lepas yang diapit oleh Laut Banda dan Laut Flores. Dengan kondisi alam yang demikian, maka sudah tentu akan mempengaruhi perilaku masyarakatnya dalam berusaha dan mencari nafkah. Sebagai wilayah kepulauan dengan kondisi daratan yang berbatu-batu, menjadikan sebagian besar atau sekitar 75% masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengarungi Nusantara hingga sampai di Singapura, bahkan pada zaman dulu ada yang sampai ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah dengan menggunakan perahu layar yang dibuat sendiri (Ali Hadara, 2014: 29).
Sekalipun daerah ini terkenal dengan daerah yang berbatu-batu, tetapi tidaklah berarti bahwa tidak ada masyarakat yang bercocok tanam. Sebagian besar masyarakat Kaumbeda khususnya Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko hidup dengan hasil pertaniannya sendiri yaitu bertanam ubi-ubian dan jagung. Ini terbukti dengan makanan pokok setiap hari adalah berupa ubi-ubian, meskipun sekarang sudah banyak yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok.
Mata pencaharian yang pertama dikenal oleh masyarakat Kelurahan Rukuwa adalah pertanian, namun keadaan alam daratan Kelurahan Rukuwa khususnya dan Kecamatan Binongko umumnya kurang menguntungkan bagi pertanian, disebabkan oleh kondisi tanah yang kurang subur atau tandus, sedangkan terbentang lautan luas dihadapannya, sehingga hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan ide akan kehidupan baru yakni kehidupan dalam bidang pelayaran dan perdagangan antar pulau.
Sesuai dengan keadaan lingkungan alam di Pulau Binongko yang dikelilingi oleh laut yang sangat potensial dengan sumber mata pencaharian sebagai petani dan pelayar. Petani dijadikan sebagai mata pencaharian pokok oleh masyarakat Rukuwa, akan tetapi tidak semua mata pencaharian penduduk di Kelurahan Rukuwa hanya terorientasi pada satu jenis mata pencaharian saja. Namun terdapat beragam jenis mata pencahaian penduduk di Kelurahan Rukuwa, hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi, Tahun 2014
No.
|
Mata Pencaharian
|
Jumlah (Orang)
|
Persentase (%)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Pelayar
Petani
Nelayan
Pengrajin
Pedagang
Pertukangan
Jasa Angkutan
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
|
365
260
150
250
300
145
100
120
|
21,0
15,39
8,83
14,72
17,67
8,56
5,89
7,07
|
Jumlah
|
1.698
|
100
|
Sumber: Kantor Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko, 2014
Berdasarkan tabel di atas diperoleh gambaran bahwa jumlah penduduk di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko yang telah bermata pencaharian adalah 1.698 orang. Mata pencaharian tersebut terdiri dari pelayar, petani, nelayan, industri kerajinan, pedagang, pertukangan, jasa angkutan, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun dari jumlah mata pencaharian tersebut yang paling dominan adalah yang bermata pencaharian pelayar yang berjumlah 365 jiwa sebesar 21,50%, menyusul yang bermata pencaharian pedagang 300 jiwa atau 17,67%, kemudian petani atau 15,39%. Dengan demikian bahwa sebagian besar dari mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko adalah petani. Sementara mata pencaharian yang paling sedikit jumlahnya adalah jasa angkut dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) masing-masing sebanyak 100 dan 120 jiwa atau masing-masing sebesar 5,89% atau 7,07%.ini menunjukkan bahwa jasa angkut dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sangat kurang di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko.
D. Keadaan Sosial Budaya
1. Musyawarah ( Poawa-awa)
Segala aktivitas kehidupan yang mengangkut kepentingan umum atau yang melibatkan orang banyak, tidak terkecuali keidupan yang berlangsung di laut, harus ditempuh dengan cara musyawarah. Di mana dalam meusyawarah harus menjunjung tinggi ideologi gau satoto, yang berarti menyatunya perasaan, pikiran, perkataan dan perbuatan dalam satu kesatuan yang utuh (Ali Hadara, 2012: 20)
Budaya musyawarah atau poawa-awa masih sangat tampak dipegang teguh oleh masyarakat Kaumbeda khususnya Kelurahan Rukuwa. Musyawarah atau poawa-awa dilakukan ketika ada kegiatan yang diselenggarakan di Kelurahan sehingga untuk membahas kegiatan tersebut diadakanlah musyawarah yaitu dengan mengundang para tokoh masyarakat dan warga untuk berkumpul di Kelurahan Rukuwa.
2. Gotong Royong (Pohamba-Hamba)
Budaya gotong royong atau pohamba-hamba yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu di daerah ini masih sangat tampak dipegang teguh oleh masyarakat Kaumbeda khususnya Kelurahan Rukuwa. Falsafah yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain di aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sosial untuk kepantingan umum seperti pembuatan dan perbaikan rumah. Untuk keperluan bahan-bahan rumah, semua di tanggung oleh yang punya rumah, dan para tetangga dekat maupun tetangga yang jauh datang membantu, sesuai dengan apa yang mereka bisa bantu, untuk para ibu-ibu rumah tangga mereka bantu memasak untuk makan siang mereka. Begitupun dengan pembangunan mesjid dan kepentingan umum lainnya itu dibebankan kepada setiap kepala keluarga untuk mengumpulkan batu dan membawanya ke tempat dimana mereka akan melakukan kerja bersama-sama warga.
Dalam kehidupan sosial masyarakat di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko, budaya pohamba-hamba (gotong-royong) masih tetap mewarnai kehidupan sosialnya. Hal ini dapat dilihat antara lain ketika kebersihan lingkungan jalan raya dimana pada saat itu setiap warga yang membersihkan lingkungan jalan raya akan membuat kelompok-kelompok kecil dengan anggota sepuluh sampai lima belas orang yang disebut dengan kelompok pohamba-hamba’a (La Sina, wawancara 13 Juli 2015).
Hal yang sama terlihat pada saat anggota masyarakat membuat atau memperbaiki rumah dan pekerjaan-pekerjaan sosial lainnya. Misalnya jika terdapat salah satu anggota masyarakat yang ditimpa musibah seperti meninggal dunia, maka meninggalkan pekarjaan pribadinya dan pergi ke rumah duka tersebut dengan membawa yang alakadarnya atau bahan makanan sebagai suatu tanda turut berduka cita. Bagi keluarga yang kurang mampu, bantuan ini diharapkan dapat meringankan bebannya. Model pemberian bantuan seperti ini disebut hamba ( La Sina, wawancara 13 Juli 2015).
Dalam keadaan duka seperti tersebut di atas, warga masyarakat yang sementara bekerja di kebunnya akan dicari oleh anggota keluarganya agar kembali ke kampung untuk mengunjungi warga yang tengah berduka, dan mengusahakan agar mayat secepatnya di kebumikan. Selesai di kebumikan maka masing-masing warga akan kembali melaksanakan pekerjaan pribadinya. Nilai poasa’a (persatuan) ini identik dengan nilai budaya pohamba-hamba. Namun ini lebih di tekankan pada pekerjaan-pekerjaan sosial yang bersifat umum seperti pembuatan dan perbaikan jalan raya, mesjid dan lain-lain.
Pada saat ini, semua warga akan melaksanakan kerja secara bersama-sama yang dikenal dengan istilah kerja bakti, dan meninggalkan pekerjaan pribadinya karena menghargai nilai-nilai poasa’a (persatuan) tersebut. Semangat ini pula yang melandasi pembangunan jalan maupun mesjid, sehingga sekalipun dengan penduduk yang relatif sedikit pembangunan dapat terselesaikan.
Dalam aktivitas pelayaran, prinsip tersebut mula-mula tercermin dalam konsep asa rope (satu perahu), mate asa-asa tumbu asa-asa (mati sama-sama hidup sama-sama) yang dipegang teguh manakala perahu dalam keadaan terancam bahaya, misalnya ancaman badai dan karam. Semangat juang, kerja keras, keuletan, dan keberanian yang sangat tinggi yang dimiliki oleh seorang pelaut. Tantangan yang dihadapi berupa perpaduan antara kondisi alam yang tandus, hamparan laut lepas yang penuh dengan badai dan karang, pengetahuan dan sistem navigasi yang masih tradisional menjadi penyebab utama bagi munculnya semangat hidup seperti ini.
3. Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan
Kegiatan-kegiatan sosial lain yang sudah menjadi tradisi dan erat hubungannya dengan upacara keagamaan dalam hal ini agama islam, dimana setiap peringatan hari-hari besar agama seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Israj Miraj, Lailatul Qadar dan lain-lain. Semua warga di Kelurahan Rukuwa mengadakan doa bersama di Mesjid. Hingga saat ini setiap rumah membawa makanan atau kue-kue yang disimpan dalam talang (kandea). Dalam peringatan hari-hari besar tersebut tidak pernah lepas dari pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan Qasidah Rabanah, kemudian seorang pemuka agama memberikan sambutan dan pesan-pesan agama yang dilanjutkan dengan baca doa bersama yang dipimpin oleh imam mesjid. Setelah selesai acara pembacaan doa, semua warga yang hadir mencicipi hidangan yang ada dalam kandea yang dibawa oleh warga disertai dengan hiburan berupa qasidah rabanah (La Safa, wawancara 12 Juli 2015).
Budaya lain yang erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah budaya silaturahim keliling kampung (polelei), yakni tradisi turun temurun dari generasi ke generasi yang dilaksanakan pada setiap hari raya tersebut. Dimana semua warga baik pemuka-pemuka masyarakat, aparat pemerintah Desa, tokoh agama, tokoh Adat, para pemuda baik laki-laki maupun perempuan berkumpul dalam suatu tempat yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama biasanya di halaman depan Masjid (Hanta) atau di halaman depan rumah jabatan camat Binongko untuk mengadakan acara poleleikhususnya Kelurahan Rukuwa. Setelah berkumpul di suatu tempat yang telah ditentukan kemudian masyarakat dari Kelurahan Palahidu jalan menuju Kelurahan Rukuwa begitupun sebaliknya atau masyarakat dari dua kelurahan tersebut jalan keliling kampung Kelurahan Rukuwa dan Kelurahan Palahidu, kemudian singgah disetiap rumah untuk saling berjabatan tangan dan saling memaafkan di hari yang suci (Ali Hadara, 2013: 196). Setiap rumah telah disiapkan hidangan kue-kue alakadarnya sehingga silaturahim berjalan dengan sangat akrab, sambil bercerita, warga juga mencicipi hidangan yang telah disediakan.
Kebiasan ini dilaksanakan setelah selesai melaksanakan Idul Fitri dan Idul Adha, sekitar jam 03.00 sore. Setelah acarapolelei selesai, dilanjutkan dengan acara silat dihalaman depan Masjid (Hanta). Menjelang shalat magrib, acara silat dihentikan. Setelah itu, sekitar jam 08.30 malam dilanjutkan dengan acara pagelaran seni seperti pajoge, manari banda, dan seni tari lainnya. Dalam acara malam ini bukan hanya dimeriahkan oleh muda-mudi, tetapi para orang tua juga turut berpartisipasi (Umulia , wawancara 16 Juli 2015).
4. Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh orang Kaumbeda biasa disebut bahasa Pulo (pulo).Indentifikasi bahasa Liwuto Pasi(pualu karang) oleh penduduk daratan menunjuk pada daerah pengguna bahasa ini yang menempato pulau-pulau karang. Penutur bahasa Kaumbeda pada umumnya hampir diseluruh wilayah kepulauan ini, (Ali Hadara, 2014: 26).
Beberapa daerah yang merupakan penutur bahasa Kaumbeda di Pulau Binongko adalah Kelurahan Rukuwa, Kelurahan palahidu, Desa Palahidu Barat, Desa Bante, Desa Makoro, Kelurahan Taipabu, Kelurahan popalia, dan keluarahan Sowa. Sedangkan daerah lain di Pulau Binongko sebagai penutur bahasa Cia-Cia yang merupakan bahasa yang digunakan oleh penduduk migrasi Pulau Binongko adalah Kelurahan Wali, Desa Jayamakmur, Desa Lagongga, Desa Kampo-Kampo, Desa Oihu, Desa Mole, dan Desa Haka.
5. Adat-istiadat
Budaya atau adat istiadat sangat erat hubungannya dengan masyarakat, segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat ditentukan oleh budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kehidupan dan peradaban dalam tingkat modern ternyata tidak mampu menghilangkan kebiasaan dalam masyarakat. Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dalam adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat Rukuwa aturan-aturan tersebut dikenal dengan istilah syara yang merupakan peraturan tidak tertulis yang dipatuhi oleh seluruh masyarakat berdasarkan suatu konsesus yang telah disepakati bersama. Aturan hidup ini dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat setempat, contohnya dalam penentuan keputusan pada suatu masyarakat. Keputusan tersebut akan ditetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh syara karena ini merupakan keputusan tertinggi. Aturan ini berkembang hingga saat ini dan masih tetap digunakan dan dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Agama
Agama sangatlah diperlukan dalam hidup dan kehidupan antar umat manusia karena agama mengajarkan manusia tentang kebenaran dan mengatur hidupnya agar mendapatkan kebahagiaan untuk dirinya maupun masyarakan sekitarnya. Selain itu sebagai pembuka jalan kepada sang Pencipta manusia yakni Tuhan Yang Maha Esa ketika telah meninggalkan dunia. Ajaran agama yang universal mengandung kebenaran yang tidak dapat diubah oleh manusia meskipun berbeda dalam struktur dan cara berfikirnya. Agama juga merupakan salah satu prinsip yang harus dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, secara individu agama digunakan untuk menuntun kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari.
Pada umumnya sebelum agama Islam masuk di Pulau Binongko, penduduk Pulau Binongko khususnya masyarakat Rukuwa masih menganut ajaran animisme dan dinamisme yakni percaya akan adanya kekuatan-kekuatan arwah nenek moyang serta makhluk halus dan kekuatan sakti atau gaib dari benda-benda tertentu yang dianggap keramat. Hal ini dapat dilihat dengan tradisi seperti cara mengatasi wabah penyakit (kombiano kampo), yaitu makanan (sesajian) yang dipersembahkan ke roh-roh gaib yang diletakkan di setiap sudut kampung, kebiasaan ini mirip dengan ajaran agama Hindu.
Bentuk kepercayaan seperti yang disebutkan di atas adalah termasuk dalam kepercayaan-kepercayaan yang ada pada masyarakat Rukuwa. Namun setelah masuk dan berkembangnya agama Islam di Pulau Binongko khususnya di Kelurahan Rukuwa banyak perubahan dalam bentuk pola pikir, sikap dan tingkah laku dalam kehidupan masyarakat yang dianut sebelumnya tidak dihilangkan melainkan disesuaikan dengan konsep agama Islam.
Masyarakat Rukuwa sangat taat dan patut terhadap keyakinan yakni ajaran Islam yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dimanapun mereka berada jikalau ada yang menghina agama Islam yang dianutnya, seketika itu juga mereka akan marah sebab agama Islam merupakan agama yang dianut oleh seluruh masyarakat Pulau Binongko khususnya di Kelurahan Rukuwa dan sudah dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan (La Sina, wawancara 13 Juli 2015).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diliht bahwa sebelum agama Islam masuk di Pulau Binongko, penduduk Pulau Binongko khususnya masyarakat Rukuwa masih menganut ajaran animisme dan dinamisme yakni percaya akan adanya kekuatan-kekuatan arwah nenek moyang serta makhluk halus dan kekuatan sakti atau gaib dari benda-benda tertentu yang dianggap keramat. Namun setelah masuk dan berkembangnya agama Islam di Pulau Binongko khususnya di Kelurahan Rukuwa banyak perubahan dalam bentuk pola pikir, sikap dan tingkah laku dalam kehidupan masyarakat yang dianut sebelumnya tidak dihilangkan melainkan disesuaikan dengan konsep agama Islam.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Peran Kaum Perempuan di Pulau Binongko dalam Pembuatan Perahu Layar Abad XX
Kepandaian membuat perahu salah satu ciri komunitas maritim di Kepulauan Wakatobi khususnya di Pulau Binongko. Kapan pertama kali kepandaian itu muncul?.Tidak diketahui secara pasti mengenai hal ini, sebab tidak tersedia dokumen (sember tertulis) yang bisa digunakan untuk merekonstruksi sejarahnya.Pertanyaan ini hanya dapat dielaborasi dengan manfaat sumber lisan.
Tradisi lisan lokal menjelaskan bahwa pada masa lalu, telah datang seorang yang sakti (dari Mongol, Cina) ke kepulauan Wakatobi menumpang sebuah perahu raksasa, dalam rangka perjalanan keliling melihat alam sekitarnya, yang proses penciptaannya belum sempurna. Dalam perjalanan itu, La Patua Sakti, demikian nama panggilannya, singgah di Pulau Binongko dan mewariskan tradisi pembuatan perahu bagi masyarakat Binongko. Kisah ini diyakini sebagai awal mula munculnya tradisi pandai perahu dan berlayar di daerah ini (La Aena, wawancara 23 Juli 2015).
Sumber media kita dari Key Maluku Tenggara, pada abad ke-17 orang-orang Binongko telah sampai di Maluku dengan menggunakan perahu layar. Di kepulauan Key Maluku Tenggara itu mereka berhasil mendirikan sebuah perkampungan yang dinamakan Kampung Tamu. Perahu layar pertama yang berhasil mereka buat di kampung itu diberi nama PL Montosoro yang berarti awak perahu pemberani dan bertanggung jawab (Hasan, Media Kita, No. 57/Thn XXI/1990: 2).
Dalam tradisi lisan menuturkan bahwa sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, orag-orang Binongko telah berhasil menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekah dengan menggunakan perahu layar, sebagaimana yang dilakukan olehHaji Hoha (haji empat orang), yakni La Samura (H. Shiddiq), La Muru (H. Tayyeb), La Sirau (H. Abdul Halim) dan La Ali (H. Muhammad Ali), (Hasan, Media Kita No. 44/Thn XIX/1989). Hal ini diakui oleh kalangan pelayar-pelayar Bugis-Makassar, karena keunggulan perahu-perahu mereka yang lebih kecil dan lebih ramping sehinggga lebih mudah dan lincah bergerak (Ali Hadara, 2015: 75).
Pada zamannya Binongko terkenal dengan perahu yang dibuatnya, perahu khas orang Binongko mempunyai makna penting, terutama dalam dinamika pelayaran niaga orang Binongko adalah perahu bhangka. Perahu inilah yang telah berhasil membangun rute dan jaringan pelayaran niaga orang Binongko selama berabad-abad lamanya. Disepanjang pasir pantai di kepulauan Binongko sejak abad ke-20 berjejer perahu-perahu dalam berbagai bentuk dan ukuran yang sedang dalam proses pembuatan oleh para pengrajin setempat. Keunggulan yang dimiliki orang Binongko dalam membuat perahu layar tradisional telah mampu membuat perahu dalam jumlah 100 buah perahu (Ali Hadara, 2015: 36).
Sejak zaman dahulu, pelayaran di nusantara khususnya pelayar-pelayar Binongko dalam melakukan aktifitas pelayarannya sangat tergantung pada musim angin yang bertiup di nusantara ini. Hal ini disebabkan karena perahu yang mereka gunakan adalah perahu yang hanya mengandalkan layar sebagai alat penggeraknya.
Pelayaran yang dilakukan oleh pelayar-pelayar Binongko kebanyakan dilakukan pada musim timur (timu) yakni dari bulan April-Aggustus sedangkan pada musim barat (faha) yakni dari bulan Desember-Maret digunakan para pelayar-pelayar Binongko untuk kembali dari pelayarannya menuju Binongko. Ketergantungan pada angin atau musim ini membuat para pelayar Binongko terkadang harus menunggu pergantian musim baru bisa pulang ke Binongko dengan artian para pelayar Binongko dalam melakukan pelayarannya bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Dalam perkembangan selanjutnya dengan adanya kemajuan dibidang teknologi pelayaran, maka perahu-perahu pelayar Binongko telah banyak dilengkapi dengan mesin untuk dapat membantu fungsi layar, bahkan layar sekarang sudah berfungsi sebagai alat bantu mesin dalam pelayaran menuju tempat tujuan (La Iliasi, wawancara, 22 Juli 2015).
Dalam sejarah umat manusia, kedudukan perempuan selalu berada di bawah dominasi kaum laki-laki. Kaum perempuan sejak zaman dahulu selalu saja dipandang sebagai objek pelengkap bagi kaum laki-laki. Sehingga sebagai bagian dari masyarakat perempuan juga memilki peran yang cukup penting terutama dalam pembuatan perahu layar orang binongko. Adapun peran perempuan dalam pembuatan perahu layar adalah sebagai berikut:
1. Peran Perempuan dalam Pelaksanaan Ritual Ompu (Meyambung)
Pelayar Binongko beranggapan bahwa perahu dapat mendatangkan rezeki sebanyak-banykanya. Karena itu perahu dianggap sebagai manusia yang selalu mencari nafkah. Oleh sebab itu perahu harus dibuat seperti pula cara membuat manusia dan harus dipelihara, disayangi, serta dilindungi. Dalam posisinya sperti itu maka perahu menempati kedudukan sebagai “anak kedua” dari pemiliknya. Anak pertama adalah anak-anak dalam arti bioligis. Dapat dibayangkan bagaimana seorang sepasang suami siteri memelihara, menyayangi dan melindungi anaknya, begitu pula ia memelihara, menyayangi dan melindungi perahunya. Kesaksian seorang isteri pemilik perahu mengisyaratkan bahwa sang isterilah yang melahirkan perahu sebagai anak kedua sehingga apa yang dilakukan oleh sang suami terhadap sang anak harus mendapat restu dari seorang isteri.
Oleh karena perahu bagi orang Binongko diumpamakan sebagai salah seorang ‘anak-anak’ mereka. Karena itu ketika sebuah perahu mulai dibuat langkah pertama sebagai tanda dimulainya pembuatan perahu orang Binongko adalah melakukan ritual ompu (menyambung) atau mempertemukan kemudian mengancing dua tena (lunas) induk, dua batang kayu induk atau lunas yang mereka namakan tena (lunas), ketika akan disambung atau dikancing (ompu) sebagai tanda dimulainya pembuatan perahu, harus posisi digendong oleh sepasang suami isteri pemilik perahu. Perahu tersebut diumpamakan sebagai “anak kedua” dari pemilik perahu, karena itu harus disayangi bagaikan menyayangi anak kedua. Seolah-olah sedang melakukan hubungan suami isteri dan tentunya akan menghasilkan seorang anak. Waktunya pun harus dalam kondisi suci bersih, selesai shalat shubuh, dan sebelum terbit matahari dan gendongan akan dilepas ketika ada perintah dari kepala tukang. Ketika dimulai ritual ompu, kedua pasangan suami isteri pemilik perahu tersebut berniat dalam hati “kecuali aku mati baru engkau hancur”. Begitu mendalamnya hubungan antara pemilik dan perahu, sehingga ada kepercayaan masyarakat pelayarar Binongko bahwa jika perahu akan mengalami suatu musibah, perahu tersebut mengeluarkan bunyi seperti orang sedang menangis (Ali Hadara, 2015: 53).
Dalam prsoses ritual ini sang isteri pemilik perahu mempersiapkan perlengkapan sesajen untuk ritual seperti daun sirih 3 lembar atau 5 lembar sampai 7 lembar, tembakau (rokok) 3 batang atau 5 batang sampai 7 batang, kapur sirih, gambir dan pinang yang disimpan dalam toba (kotak ritual). Pemasangan ompu yang dilapisi dengan kain putih (kesucian tanpa noda) dilakukan oleh basi dan toba (kotak ritual) yang berisi daun sirih, tembakau (rokok), kapur sirih, gambir dan pinang tersebut diletakkan dihadapan basi (teknisi). Makna angka keganjilan adalah agar rezekinya selalu berlebihan.
2. Peran Perempuan dalam Pelaksanaan ritual Kumba Belai (Peniupan Roh Kepada Perahu)
Kumba belai adalah pelaksanaan pertama dalam bentuk pemberian ‘tanda pertama’ (belai) untuk mengawali pekerjaan menyusupkan serat kulit pohon kumba pada pertemuan sambungan dan sela papan perahu. Peletakan kumba belai didahului dengan ritual dimalam hari oleh empunya perahu. Sang suami membaca do’a lalu menyerahkan segenggam serat kulit pohonkumba dan diterima dengan do’a tertentu oleh sang isteri untuk kemudian disimpan di bawah bantal tempat tidurnya. Pagi hari sebelum matahari terbit, dilakukan kembali serah terima kumba dari sang isteri kepada sang suami disertai bacaan-bacaan do’a tertentu. Sang suami menerima kumba tersebut, lalu bergegas berangkat menuju galangan perahu untuk melakukankumba belai. Dalam kepercayaan masyarakat Binongko khususnya masyarakat Rukuwa pelaksanaan kumba belai merupakan proses peniupan roh kepada perahu karena perahu bagi orang Binongko disimbolkan sebagai manusia (Ali Hadara, 2015: 29).
Pekerjaaan kumba adalah menutup rapat semua sambungan dan sela papan agar air tidak masuk ke dalam perahu dengan menggunkan serat kulit pohon kumba atau dari serat pohon barruk (bharu) dalam dialek Binongko mereka namakan te susukia nu bhangka.
3. Peran Perempuan dalam Ritual Pelepasan Perahu (soro’a nu Bhangka)
Ketika semua ritual ompu dan ritual kumba belai selesai dilaksankan maka selanjutnya dalam pembuatan perahu sepenuhnya diserahkan kepada kepala tukang. Dalam proses pembuatan perahu tersebut sang isteri pemilik perahu harus menjaga kesehatan para tukang yaitu dengan menyiapkan makanan setiap hari sampai perahu teresebut selesai dibuat. Jika perahu telah selesai dibuat, maka selanjutnya adalah pngecetan perahu atau memperindah perahu karena perahu tersebut akan mencari nafkah sehingga harus diperindah agar rezeki selalu berlimpah dan setelah selesai pengecetan dilakukan pelepasanperahu (soro’a nu bhangka).
Pelepasan perahu disebut soro’a nu bhangka (soro’a = meluncurkan; bhangka = perahu). Bagi orang Binongko khususnya Rukuwa diibaratkan sebagai kelahiran seorang bayi. Kegiatan pelepasan perahu disertai dengan ritual tertentu pula. Pertama-tama memilih hari baik menurut tradisi dan kepercayaan. Hari yang dipilih adalah hari yang dapat mendatangkan rezeki sebanyak mungkin (Ali Hadara, 2015: 31).
Pelepasan perahu (soro’a nu bhangka) biasanya dilakukan pada pagi hari dimana masyarakat sudah berkumpul di pesisir pantai tempat pembuatan perahu. Isteri pemilik perahu berdiri di belakang perahu sedangkan suami pemilik perahu berdiri di depan perahu. Ketika akan dilepas, perahu dipegang oleh basi kemudian didorong sampai ke laut secara gotong royong oleh massa yang kebanyakan adalah sanak keluarga dan warga setempat dan setelah tiba di laut diibaratkan sang bayi telah lahir ke dunia. Tetapi, jika pada saat didorong perahu tidak bergerak maka sang isteri sebagai pemilik perahu memukul belakang perahu sebanyak tiga kali atau berulang-ulang agar perahu tersebut tidak lama di darat dan segera bergerak ke laut. Dalam kepercayaan orang Binongko ketika perahunya didorong tidak bergerak menandakan isteri pemilik kapal tidak mengikhlaskan dalam melepaskan perahunya sehingga dalam pelepesan ini isteri pemilik kapal dan suaminya harus dalam keadaan ikhlas dalam melepas anaknya. Setelah tiba di laut, dalam posisi dok perahu harus dlubangi dibagian tengah tenainduk dengan menggunakan bor pelubang (leleika). Pada saat air pasang naik, dari lubang tadi air laut akan masuk kedalam hingga memenuhi bagian dalam perahu. Ketika membuat leleika sang isteri harus ikut memegang bor sebelum bor tersebut diputar oleh tukang dan pegangannya dilepas ketika bor akan diputar. Tetapi jika tidak ada isteri pemilik perahu maka penggantinya adalah ibu hamil yang mengandung anak pertamanya. Dalam artian bahwa agar perahu selama digunakan selalu diberikan rezeki yang berlimpah (La Aena, wawancara 22 Juli 2015).
Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa peran perempuan sebagai isteri pemilik kapal memegang peranan penting dari awal pembuatan perahu hingga selesai.
B. Peran Kaum Perempuan di Pulau Binongko dalam Persiapan Pelayaran Niaga Abad XX
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, perahu bagi orang Binongko dianggap sebagai anaknya sehingga harus dipelihara, disayangi, dilindungi sama halnya menyayangi anaknya, sehingga dalam pembuatan perahu tidak bisa terlepas dari peran perempuan selaku isteri pemilik perahu dan setelah perahunya selesai di buat maka langkah selanjutnya adalah persiapan untuk berlayar sebelum digunakan untuk berlayar dilakukan ritual pakande’a (do’a selamat). Adapun peran perempuan dalam persiapan untuk berlayar adalah sebagai berikut:
1. Peran Perempuan dalam Pelaksanaan Ritual Pakande’a (do’a Selamat)
Sebelum perahu digunakan berlayar untuk mencari nafkah, terlebih dahulu dilakukan ritual yang mereka namakanpakande’a (do’a selamat), pakande’a adalah ritual syukuran atas selesainya pembuatan perahu. Pelaksanaannya dilakukan ketika perahu sudah ada di laut dan siap untuk berlayar mencari nafkah.
Adapun bahan-bahan yang harus dipersipakan oleh perempuan selaku isteri pemilik perahu dalam proses ritualpakande’a (do’a selamat) adalah sebagai berikut:
a. Daun tutu (kayu hitam) 7 lembar
b. Daun kamba manuru 7 lembar
c. Bunga cempaka 7 tangkai
d. Daun sampela 7 lembar
e. Daun sangke menihu 7 lembar
f. Janur yang belum tebelah 7 lembar
g. Ayam jantan yang berwarna merah (sehat dan tidak cacat)
h. Benang
Bagi orang Binongko bahan-bahan inilah yang dianggap sebagai makanan untuk perahu. Bahan-bahan tersebut mengandung makna tertentu bagi perahu diantaranya daun tutu (kayu hitam) mempunyai makna agar perahunya dalam mencari rezeki selalu diberikan akhir yang baik yaitu banyak mendapat rezeki, daun kamba manuru dan bunga cempaka mempunyai makna agar perahunya meskipun jauh jaraknya dengan kampung selalu ada kabarnya, daun sampela mengandung makna agar perahunya selalu diberikan kemudahan dan kesalamatan dalam berlayar sampai ke tempat tujuan, daun sangke menihu mempunyai makna agar perahunya selalu diberikan kemudahan dan selamat dari tantangan di laut dalam mencari rezeki, janur yang belum terbelah mempunyai makna agar perahunya tidak terpisah-pisah meskipun menghadapi ombak dan arus yang sangat besar, ayam jantan mengandung makna agar perahu yang disimbolkan sebagai manusia ini ulet dalam mencari rezeki sebagaimana kuat dan sehatnya ayam sedangkan benang mempunyai makna untuk mengikat dan menyatukan semua bahan-bahan tersebut agar tidak terpisah-pisah karena semuanya mempunyai makna baik untuk perahu yang tidak bisa dipisahkan (La Iliasi, wawancara 22 Juli 2015).
Dalam proses ritualnya ayam jantan tersebut dipotong dibagian pusatnya perahu, kemudian janur dibelah oleh isteri pemilik perahu, untuk masing-masing belahan janur tersebut diambil 7 lembar disatukan (dijahit) dengan bahan-bahan lainnya termasuk dengan kepala ayam, sayap kanan kiri ayam, dan kaki kanan kiri ayam yang digantung dibagian mbui (depan) dan belakang perahu. Perbedaannya adalah untuk kepala, sayap kanan dan kaki kanan ayam digantung dibagian mbui (depan) sedangkan sayap kiri dan kaki kiri ayam digantung dibagian belakang perahu dan tidak dibuka sampai gantungan tersebut terlepas sendirinya.
Karena bagi orang Binongko perahu dianggap sebagai anak-anak mereka sehingga ayam tersebut dipotong dibagian pusat perahu atau dibagian tena sama halnya memotong tali pusatnya anak (bayi) yang baru lahir dan darahnya disiramkan keseluruh dopi (papan) induk. Kemudian, sisa darah ayam disimpan disatu tempat yang kemudian dicampur dengan kapur sehingga berbentuk bedak untuk dioleskan di seluruh badan perahu dari kanan kekiri yang dilakukan oleh isteri pemilik perahu. Dalam kepercayaan orang Binongko ini dianggap sebagai memandikan perahu dan dipakaikan bedak sama halnya seorang ibu merawat anaknya. Sisa darah ayam yang dicampur dengan kapur ditanam di depan rumah pemilik perahu agar perahunya meskipun mendapat musibah dalam berlayar tetap akan kembali kekampung dengan selamat.
Pelaksanaan do’a selamat (pakande’a) biasanya dilakukan pada pagi hari, dimana para keluarga pemilik perahu dan undangan berkumpul di rumah pemilik perahu dengan memasak khususnya perempuan. Ketika ritual pakande’a selesai dilakukn maka dilanjutkan dengan membaca do’a dan makan bersama. Pada saat do’a selamat, basi diberikan seperangkatkande’a (talang) yang berisi sejumlah makanan, uang, dan cincin emas sesuai keikhlasan dan kemampuan pemilik perahu. Pada saat penyerahan kande’a inilah tanggung jawab kepala tukang dianggap telah selesai dan perahunya diserahkan kepada pemiliknya (La Iliasi, wawancara 23 juli 2015).
2. Peran Perempuan Ketika Sang Suami akan Berlayar
Ketika semua proses ritual pakende’a (do’a selamat) sudah selesai dilakukan, maka selanjutnya adalah berlayar, sebelum berlayar pemilik perahu mencari ABK (sawi), nahkoda (anakoja), dan pesuruh atau juru masak (koki) untuk perahunya. Setelah semuanya sudah didapat, ditentukanlah hari keberangkatan dan hari tersebut adalah hari baik yang dapat mendatangkan rezeki.
Kebiasaan yang sering dilakukan pada malam keberangkatan semua ABK (sawi), nahkoda (anakoja) dan isteri-isterinya termasuk pemilik perahu membaca do’a keselamatan (onitu) agar pada saat berlayar mereka dijauhkan dari segala bahaya sehingga mereka akan kembali ke kampung dengan selamat. Bagi para pelayar bhangka semua hari yang terdiri dari tujuh hari dalam seminggu adalah hari baik, namun terkadang mereka mempercayai bahwa ada hari-hari baik dan hari yang tidak baik tertentu untuk melakukan keberangkatan berlayar berdasarkan insting dan kepercayaan. Salah satunya adalah hubungan baik pelayar dan anggota keluarga di dalam rumah tangga apa bila para pelayar akan hendak berangkat berlayar tidak boleh ada yang berselisih atau mungkin bertengkar sesama anggota keluarga dalam rumah terutama isteri karena ini dianggap bahwa keberangkatannya tidak direstui oleh anggota keluarga dan bisa mengancam keselamatan dalam berlayar (La Iliasi, Wawancara 23 Juli 2015).
Ketika selesai memboca do’a keselamatan (onitu) sang isteri menyiapkan pakaian suaminya dilanjutkan dengan membuatkan bekal untuk dibawa ketika berlayar, biasanya bekal yang dibuatkan adalah ketupat, kasoami, ikan dan perlengkapan lainnya. Bagi masyarakat Binongko dalam dunia pelayaran sejak dahulu membuat bekal untuk orang berlayar mengarungi lautan sudah menjadi tradisi yang hingga sekarang masih tetap ada. Karena dalam masyarakat Binongko jika pada saat berlayar mengarungi lautan tidak membawa bekal maka disebut homali (pemali) sehingga harus membawa bekal meskipun itu hanya kasoami (makanan pokok Binongko) atau jenis makanan lainnya karena mengingat letak Pulau Binongko yang merupakan pulau paling ujung di Wakatobi yang memakan waktu berhari-hari mengarungi lautan hingga sampai ketempat tujuan sehingga diharuskan membawa bekal.
Pada hari keberangkatan dan perahu siap berlayar semua isteri ABK (sawi), nahkoda (anakoja) dan pesuruh (koki) termasuk pemilik perahu dan anak-anaknya serta keluarga dengan suka cita sekaligus keharuan mengantar sang suamni ke pelabuhan dan tidak diperbolehkan kembali kerumah hingga perahu lepas dari pandangan mata.
Setelah pulang dari mengantar suaminya, masih berkaitan dengan hari keberangkatan semua isteri ABK (sawi) datang kerumah nahkoda (anakoja) untuk membaca do’a (siri sampu’a) yaitu mendoakan keselamatan suaminya agar selamat sampai tempat tujuan. Setiap isteri ABK (sawi) membawa makanan dari rumah masing-masing untuk membaca do’a di rumah nahkoda (anakoja) perahu, setelah selesai pembacaan do’a, isteri nahkoda (anakoja) saling membagikan makanan dari hasil baca do’a untuk dibawa pulang kembali ke rumah masing-masing.
Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa perempuan selaku isteri pemilik perahu dan isteri personil perahu memegang peranan penting dalam menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan perahu maupun dalam persiapan pelayaran bagi sang suami sehingga peran perempuan tidak bisa dilepas dalam mendukung pelayaran niaga.
C. Peran Kaum Perempuan di Pulau Binongko Saat Pelayaran Niaga Abad XX
1. Peran Perempuan di Bidang Ekonomi
Berlayar (palangke) adalah meninggalkan kampung halaman atau daerah asal secara sukarela dalam periode waktu pendek atau lama dengan tujuan pemenuhan kebutushan ekonomi keluarga. Sehingga dengan berlayar tersebut menimbulkan masalah bagi perempuan atau isteri terutama dalam bidang ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada zaman dahulu peran perempuan dalam perekoniman itu masih sangat terbatas, dikarenkan keadaan sosial masyarakat pada saat itu yang masih sangat diikat dengan adat istiadat. Kedudukan wanita dalam keluarga yang didasarkan pada adat istiadat tersebut memberikan pengaruh pada kedudakan dan peranannya dalam masyarakat khususnya di dalam ekonomi rumah tangga.
Status sosial perempuan dalam masyarakat diukur pada kepatuhan-kepatuhan dalam menjalankan hak dan kewajibannya berdasar pada norma-norma dan nilai-nilai adat istiadat. Karena sebagai wanita hak dan kewajibannya yang utama adalah didalam keluarga yaitu hanya mempunyai kewajiban melahirkan, merawat, mengasuh serta mendidik anaknya hingga ia menjadi dewasa dan pada akhirnya si anak kawin dan membentuk satu keluarga. Sedangkan pria sebagai ayah dari anak-anaknya tidaklah terlalu dibebankan dalam soal-soal pemeliharaan anak karena tanggung jawab tersebut sepenuhnya dibebankan kepada ibu. Yang terpenting bagi pria dan merupakan tugas utamanya adalah bagaimana ia dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang pagan keluarganya. Bahkan tidak jarang terjadi pria sebagai ayah meniggalkan rumah berhari-hari tergantung ia mencari nafkah yakni dengan merantau atau melakukan pelayaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, keadaan tersebut menyebabkan sang isteri jenuh sehingga mendorong sang isteri sebagai ibu rumah tangga untuk ikut berperan dalam mencari nafkah.
Secara fisik kaum laki-laki dan perempuan berbeda, demikian juga dari segi psikologis dimana laki-laki umumnya lebih rasional, lebih aktif, dan agresif sedangkan wanita lebih pasif, karena itu banyak pendapat mengatakan bahwa sudah sewajarnya perempuan hidup dilingkungan rumah tangga serta memasak dan memberi perhatian kepada keluarganya. Sementara itu laki-laki mempunyai tugas keluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Hal ini sesuai hasil wawancara dengan salah satu informan ibu Umulia (54 tahun) bahwa: “Dulunya terjadi perubahan, kehidupan saya hanya berputar disekitar rumah tangga, merawat anak, memasak, mencuci dan melayani suami. Hal ini saya terima saja sebagai sesuatu yang biasa dalam masyarakat sehingga tumbuh kesan dalam masyarakat bahwa tujuan saya itu hanya untuk menikah dan mengurus keluarga saja” (Wawancara, 16 Juli 2015)
Dari hasil wawancara di atas menyebutkan bahwa, dulu kaum perempuan dianggap hanya bisa mengurusi rumah tannga dan tidak diberikan ruang untuk melakukan aktivitas di luar rumah tangga mereka.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh ibu Naharima (60 tahun) bahwa: “Pada masa lalu, masyarakat Binongko umumnya dan masyarakat Rukuwa khususnya sebelum mengalami perubahan, masyarakat memandang bahwa kami perempuan itu bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan rumah tangga dan kami tidak diberikan kesempatan untuk bekerja atau beraktivitas di luar rumah” (Wawancara, 17 Juli 2015).
Dari pola pemikiran masyarakat yang kemudian berefleksi dalam kehidupan sehari-hari, bahwa kehidupan perempuan merupakan suatu rentetan kehidupan yang statis dan berkisar pada perkawinan dan rumah tangga. kemudian menikah, mengurus rumah tangganya sendiri, mengurus anak, melayani suami dan memasak.
Seiring dengan perkembangan zaman masyarakat Binongko umumnya dan masyarakat Rukuwa khususnya beranggapan bahwa perempuan hanya berperan mengurus rumah tangga tidak berlaku lagi dalam arti seorang perempuan memilki tugas atau tanggung jawab lain disamping mengurus rumah tangga. Dalam masyarakat Binongko adalah semakin banyakanya wanita yang berperan membantu suami mencari tambahan atau pekerjaan ganda untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka.
Pekerjaan ganda yang dimaksud adalah selain mengurus pekerjaan rutin sebagai ibu rumah tangga secara umum, perempuan Binongko sebagian besar juga bekerja sampingan untuk membantu suami dalam mencari nafkah.
Dari hasil pekerjaan ganda yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka tersebut, mereka mengakui bahwa penghasilan tersebut dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarga walaupun sedikit-sedikit, selain dari penghasilan suami mereka.
Adapun jenis-jenis keterampilan dan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam menambah penghasilan sesuai hasil di lapangan seperti:
a. Membuat Atap Dodha
Pohon kelapa yang banyak terdapat di Binongko dimanfaatkan oleh ibu-ibu untuk membuat atap rumah. Pekerjaan membuat atap ini mereka lakukan untuk membantu perekonomian keluarganya. Meski hanya sebagai sampingan namun hasil dari kerajinan membuat atap dodha ini mampu menambah penghasilan rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan keluarga.
Proses pembuatan atap dodha masih sangat tradisional dan prosesnya hanya mengikuti apa yang sudah mereka terapkan turun temurun. Dalam pembuatan atap Dodha ini perempuan mencari daun kelapa yang sudah tua, kemudian dibuka dari batangnya, setelah semua daun kelapa terkumpul kemudian diikat dan direndam di air selama beberapa hari kemudian dipikulnya kerumah dilanjutkan dengan menyusun helai demi helai daun kelapa menjadi sekeping atap.
b. Bekerja Sebagai Petani
Salah satu mata pencaharian dalam menentukan kehidupan keluarga masyarakat Binongko umumnya dan masyarakat Rukuwa khususnya adalah petani, pekerjaan sebagai petani sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Binongko dengan memanfaatkan tanah yang kurang subur bagi para perempuan dalam membantu suaminya.
Hasil wawancara peneliti dengan ibu Umulia (54 tahun), mengatakan bahwa: “Dalam kehidupan sehari-hari beliau bekerja sebagai petani dilakukan sejak beliau hidup membina rumah tangga bersama suaminya pekerjaan ini merupakan mata pencaharian utama saya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain berkebun beliau menjadi pedagang sayur keliling yang dimana sayurnya dipesan dari Tomia dan Bau-bau. Kedua jenis pekerjaan tersebut sebagai wahana mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya khususnya kebutuhan sehari-hari” (Wawancara, 16 Juli 2015).
Dari pernyataan tersebut diperoleh informasi bahwa ibu rumah tangga yang bekerja sebagai petani dan pedagang sayur hanya karena tuntutan kebutuhan ekonomi dalam kebutuhan rumah tangganya, selain berkebun diperoleh informasi pula bahwa jika wanita rumah tangga memiliki keterampilan dan mereka melakukannya sebagai pekerjaan sampingan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya, seperti yang dikemukakan oleh ibu Wa Ba’a (70 tahun) mengtakan bahwa: “Selain bertani beliau melakukan pekerjaan sampingan dengan menjual ubi kayu, kasoami (makanan pokok Binongko) dan kaopi (ubi kayu yang sudah diparut dan dijepit). Kedua pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang telah dilakukan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dari pelaksanaannya dibantu oleh anak-anaknya (Wawancara, 17 Juli 2015).
Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa mereka melakukan pekerjaan sebagai petani karena sudah menjadi sumber mata pencaharian mereka dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya dalam melakukan pekerjaan mereka melibatkan pula anak-anaknya membantu menyelesaikan pekerjaan tersebut.
c. Bekerja Sebagai Pedagang
Upaya lain seorang isteri dalam membantu suami mencari nafkah di Kelurahan Rukuwa dalam memenuhi kebutuhan kelaurganya adalah berdagang. Jenis pekerjaan ini dilakukan oleh wanita yang tidak mempunyai modal. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Ori (67 tahun) mengatakan bahwa: “Beliau dalam kehidupan sehari-harinya hanya sebagai penjualkasoami dan kayu bakar. Pekerjaan ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Lagi pula anak-anaknya tidak ada yang tamat sekolah atau melanjutkan pendidikan karena disebabkan oleh keadaan ekonomi dan masih kurang keasadaran akan pentingnya pendidikan (Wawancara, 18 Juli 2015).
Pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya terutama kehidupn sehari-hari sehinggga dengan melakukan berdagang seperti menjual kasoami, kayu bakar, dan lain-lainnya yang bisa menghasilkan uang karena penghasilan yang mereka peroleh sangat memenuhi kebutuhan keluarganya.
d. Bekerja Sebagai Penjahit
Selain petani, pedagang pekerjaan sebagai penjahit pun dilakukan oleh perempuan selaku ibu rumah tangga. Pekerjaan tersebut merupakan salah satu alternatif dalam mencari nafkah sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
Hasil wawancara peneliti dengan Ibu Naharima (60 tahun) mengatakan bahwa: “Beliau bekerja sebagai penjahit yang telah dilakukan sebelum menikah, pada saat menjalani kehidupan rumah tangga bersama suami, pekerjaan menjahit tersebut terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Wawancara, 17 Juli 2015).
e. Penambang Batu
Dengan kondisi tanah Pulau Binongko yang gersang dan sebagian besar berbatu-batu sehingga dengan keadaan tersebut sebagian masyarakat Binongko umumnya dan masyarakat Rukuwa khususnya memanfaatkan batu tersebut untuk keperluan bahan bangunan, pekerjaan ini sering dilakukan oleh isteri yang suaminya pergi berlayar atau merantau untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga. Pekerjaan ini dilakukan ketika ada orang yang membangun rumah dan mereka di gaji perkaleng yang harganya sudah ditentukan oleh orang yang membuat rumah tersebut. Meskipun penghasilannya sedikit tapi ini cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
f. Penambang Pasir
Kondisi ekonomi keluarga sering sekali memaksa perempuan untuk ikut bekerja dalam menambah penghailan keluarga. Sering sekali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak membuat sang isteri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut membuat sang isteri tidak mempunyai pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah.
Menambang pasir merupakan pekerjaan yang sering dikerjakan oleh isteri yang suamiya pergi berlayar atau merantau, pekerjaan ini dilakukan oleh isteri dalam membantu menghidupi kebutuhan rumah tangga ketika suaminya dirantauan atau negeri orang yaitu mengangkut pasir dengan menggunakan gerobak lalu membawanya kerumah orang yang membutuhkan, semakin jauh jarak rumahnya maka semakin tinggi harga pasir tersebut perkaleng.
Hasil wawancara peneliti dengan ibu Junianti (40 tahun) mengatakan bahwa: “Saya bekerja menambang pasir karena untuk membantu sang suami dalam mencari nafkah karena kalau menunggu sampai sang suami pulang dari rantauan atau berlayar maka akan membutuhkan waktu yang lumayan lama, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saya bekerja menambang pasir karena hanya pekerjaan ini yang bisa saya kerjakan. Meskipun penghasilannya tidak terlalu banyak tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari” (Wawancara, 23 Juli 2015).
Dari pernyataan tersebut maka jelas bahwa untuk membantu sang suami mencari nafkah sang isteri bekerja mengangkut pasir dengan menggunakan gerobak dengan jarak yang begitu jauh, meskipun penghasilannya tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sambil menunggu sang suami pulang dari rantauan atau pelayaran niaga.
Untuk lebih jelas mengenai rata-rata penghasilan (perbulan) yang diperoleh kaum perempuan selaku ibu rumah tangga dalam membantu suami mencari nafkah dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:
Rata-Rata Penghasilan Kaum Perempuan Selaku Ibu Ruma Tangga di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko
No.
|
Jenis Pekerjaan
|
Penghasilan ( Satu Bulan)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Membuat atap dodha (atap dari daun kelapa)
Petani (menjual kasoami dan kaopi)
Pedagang (sayur, kayu bakar)
Penjahit
Penambang batu
Penambang pasir
|
Rp. 500.000
Rp. 400.000
Rp. 450.000
Rp. 350.000
Rp. 1.000.000
Rp. 800.000
|
Sumber: Data Diolah dari Hasil Wawancara Tahun 2015
Berdasarkan tabel 4 tersebut di atas menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan kaum perempuan selaku ibu rumah tangga di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko dalam membantu suami mencari nafkah adalah membuat atap Dodhadengan penghasilan Rp. 500.00 perbulan, selain membuat atap Dodha juga bekerja sebagai petani (menjual kasoami dankaopi) dengan penghasilan Rp. 400.000 perbulan, pedagang sayur dengan penghasilan Rp. 450.000 perbulan, penambang batu dengan penghasilan Rp. 1.000.000 perbulan dan penambang pasir dengan penghasilan Rp. 800.000 perbulan.
Dari setiap pendapatan yang diperoleh sang isteri dalam membantu suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak menentu jumlahnya karena tergantung dari jumlah pesanan dan pembeli, semakin banyak pesanan dan pembeli maka semakin tinggi pendapatan yang diperoleh dalam satu bulan.
Dari uraian tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa ketika sang suami berlayar meninggalkan daerah asal dan kampung halaman dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun menimbulkan masalah bagi isteri selaku ibu rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga sehingga membuat isteri untuk ikut terlibat dalam membantu sang suami mencari nafkah untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Peran Perempuan di Bidang Agama
Dalam pelayaran orang Binongko khususnya masyarakat Rukuwa, perahu yang hanya mengandalkan layar sebagai alat penggeraknya sehingga memakan waktu berhari-hari di laut baru sampai ke tempat tujuan dan setelah sampai ke tempat tujuan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk kembali ke kampung halaman. Sehingga, dalam perjalanan tersebut sang isteri mendoakan keselamatan sang suami sampai ke tempat tujuan dan diperlancarkan segala urusannya selama berlayar. Selain itu, terdapat larangan-larangan bagi isteri dan keluarga personil perahu saat suami dan anak-anaknya berlayar. Adapun larangan-larangan untuk isteri ketika suaminya sedang berlayar yaitu: (1) Sang isteri dilarang untuk banyak bicara atau mencampuri urusan orang lain, (2) Untuk isteri nahkoda tidak boleh menguraikan rambutnya ketika berada di luar rumah, harus diikat atau disanggul alasannya pemali karena sudah menjadi suatu kepercayaan bagi masyarakat Binongko, (3) Melarang anak-anak menangis pada waktu menjelang maghrib, (4) Tidak menepis beras didepan pintu, (5) Tidak membakar tempurung kelapa di dalam rumah, dan (6) Tidak membuang kotoran pada malam hari agar dipermudahkan dalam mencari nafkah dan mendapat rezeki sebanyak-banyaknya.
Dulu, masyarakat Binongko ketika berlayar sangat jarang bagi isteri untuk komunikasi dengan suaminya karena yang tersedia hanya radio disebabkan belum tersedianya jaringan telpon seluler di Pulau Binongko. Sehingga, sang isteri ketika suaminya berlayar setiap minggu pergi ke rumah anakoja (nahkoda) dan pemilik perahu untuk menanyakan keberadaan sang suami. Tetapi, karena hanya mengandalkan pada jaringan radio yang terkadang terganggu kerana faktor cuaca sehingga kadang berbulan-bulan tidak mendengar kabar sang suami membuat isteri dan keluarga khawatir dan jika sudah brerbulan-bulan di negeri orang atau di tempat muatan dan belum ada kabarnya maka peran sang isteri adalah setiap malam jum’at pergi ke tabib atau dukun kampung untuk menanyakan keberadaan sumainya. Menanykan kaberadaan sang suami ketika berada di negeri orang kepada tabib atau dukun kampung sejak zaman dahulu hingga sekarang masih tetap dipercaya oleh masyarakat Binongko namun sudah mulai pudar karena seiring dengan perkembangan tekhnologi dan tersedianya jaringan seluler di Pulau Binongko membuat sang isteri dan keluarga sudah mudah berkomunikasi dengan suami ketika sedang berlayar (Umulia, wawancara 16 Juli 2015).
Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa pelayaran orang Binongko khususnya masyarakat Rukuwa dalam berlayar memakan waktu berhari-hari baru sampai ke tempat tujuan dan setelah sampai ke tempat tujuan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk kembali ke kampung halaman sehingga sang isteri selalu mendoakan sang suami ketika berlayar dan terdapat larangan-larangan yang tidak bisa dilakukan oleh isteri ketika suaminya sedang berlayar karena dapat mempengaruhi pelayaran sang suami dalam berlayar mencari nafkah.
D. Peran Kaum Perempuan di Pulau Binongko Saat Tiba dari Pelayaran Niaga Abad XX
Dalam masyarakat Binongko khususnya masyarakat Rukuwa menjemput sang suami ketika tiba dari pelayaran niaga sejak zaman dahulu sampai sekarang masih tetap ada dan ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Binongko pada umumnya. Ketika mendengar kabar sudah akan kembali dari pelayarannya dan saat tiba sang isteri pergi menjemput sang suami di pelabuhan, menyambut dengan gembira kedatangan sang suami serta mensyukuri hasil (rezeki) yang diperolah dari pelayaran niaga.
Pada masyarakat Binongko, ketika tiba dari pelayaran biasanya membuat do’a syukuran disertai dengan acara joged atau acara hiburan sebagai wujud rasa syukur mereka kepada Allah SWT atas kepulangan sang suami ke kampung halaman dengan selamat. Do’a syukuran biasanya dilakukan pada pagi hari atau malam hari yaitu sang isteri mengundang semua keluarga dan warga setempat untuk datang di rumahnya dalam rangka membaca do’a dan disertai dengan makan bersama dilanjutkan dengan joged bersama. Dalam acara joged tersebut bukan hanya diramaikan oleh keluarga atau warga setempat tetapi ikut diramaikan oleh tetangga kampung terutama muda mudi (La Iliasi, wawancara, 22 Juli 2015).
Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa sejak zaman dahulu sampai sekarang menjemput sang suami yang tiba dari pelayaran niaga sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Binongko umumnya dan masyarakat Rukuwa Khususnya. Selain itu, dilakukan do’a syukuruan disertai acara joged sebagai wujud rasa syukur atas kepulangan sang suami dari pelayaran dengan selamat.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam pembahasan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran kaum perempuan di Pulau Binongko dalam pembuatan perahu layar abad XX yaitu berperan dalam pemasangantena (lunas), dalam pemasangan tena ini harus posisi digendong oleh pasangan suami isteri pemilik perahu yang seolah-olah sedang melakukan hubungan suami isteri dan tentunya akan melahirkan sebuah perahu, isteri pemilik perahu juga berperan dalam pelaksanaan ritual ompu (mengancing), berperan dalam pelaksanaan ritual kumba belai (peniupan roh kepada perahu) dan menyiapkan makanan untuk tukang sampai perahu selesai dibuat serta berperan ketika pelepasan perahu.
2. Peran kaum perempuan di Pulau Binongko dalam persiapan pelayaran niaga abad XX yaitu berperan dalam pelaksanaan ritual pakande’a (do’a selamat) serta menyiapkan segala perlengkapan yang berkaitan dengan pelayaran ketika akan berlayar.
3. Peran kaum perempuan di Pulau Binongko saat pelayaran niaga abad XX yaitu berperan dalam membantu suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga, mendoakan suami selama berlayar dan mencari tahu keadaan dan keberadaan suami selama berlayar serta menjaga sikap selama suami masih berlayar.
4. Peran kaum perempuan di Pulau Binongko saat tiba dari pelayaran niaga abad XX yaitu menjemput sang suami, menyambut dengan gembira dan mensyukuri hasil (rezeki) yang diperoleh sang suami dari pelayaran niaga.
B. Saran
Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Dengan adanya hasil penelitian ini kiranya dapat menambah pengetahuan dan kecintaan terhadap budaya masyarakat Binongko umumnya dan masyarakat Rukuwa khususnya dalam rangka melestarikan kebudayaan nasional Indonesia.
2. Diharapkan perubahan yang berdampak positif perlu diterima bagi masyarakat Indonesia sedangkan yang membawa efek negatif ditinggalkan atau ditolak tanpa meninggalkan keaslian budaya nasional kita.
3. Diharapkan perlu adanya sarana sosial untuk mengantisipasi perubahan atau pergeseran peran perempuan yang mengarah ke hal-hal negatif.
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah
Manusia pada dasarnya selalu ingin berkembang, dimana sebagian besar perkembangan tersebut diperoleh melalui belajar. Melalui proses belajar tersebut terjadi perubahan-perubahan dalam setiap aspek kehidupan. Dalam jenjang pendidikan formal sejarah merupakan salah satu mata pelajaran IPS yang diajarkan melalui pendidikan pada tingkat sekolah dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa mata pelajaran sejarah juga memegang peranan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Pendidikan sejarah manifestasinya diharapkan dapat memberi sumbangan yang besar dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat pada masa lampau hingga masa kini yang bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berfikir historis dan pemahaman sejarah. Melalui pembelajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembanagan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri Bangsa ditengah-tengah kehidupan masyarakat dunia.
Selain itu pembelajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapai masa yang akan datang.
Implikasi hasil penelitian yang berjudul “Peran Kaum Perempuan di Pulau Binongko dalam Mendukung Pelayaran Niaga Abad XX” merupakan khasanah kekayaan intelektual ditujukan untuk mengangkat nilai-nilai sejarah lokal yang erat kaitannya dengan mata pelajaran Kemaritiman di Sekolah Menengah Pelayaran (SPM) kelas XI Semester I pada pokok bahasan “Nasionalisme Maritim”.
Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu 2 X 40 menit. Adapun kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dalam mengajarkan pokok bahasan ini yaitu menguraikan cara-cara perkembangan agama dan kebudayaan, kepada peserta didik. Adapun metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut: metode ceramah bervariasi, diskusi, dan penugasan merupakan metode yang sangat baik sebab dengan metode ini guru membangkitkan minat siswa dalam proses belajar mengajar sehingga siswa dapat aktif dalam proses belajar tersebut.
Posting Komentar